Perkembangan studi strategi secara umum dan strategi maritim secara khusus di Indonesia sejauh ini belum banyak berkembang, terutama jika melihat kajian ini yang terbatas pada kerangka persoalan perbatasan laut antarnegara, teknis berperang di atas permukaan maupun di bawah laut, hukum laut internasional, dan ilmu-ilmu dari rumpun eksakta meliputi oseanografi, hidrografi, perikanan, dan kelautan, geomatika, perminyakan, pertambangan, dan lain-lain. Praktis, di dalam tatanan ilmu sosial studi strategi terbatas pada sejumlah bidang ilmu meliputi hukum dan militer saja.
Selain itu, diantara bidang ilmu yang telah disebutkan tadi, belum ada upaya mempersatukan kajian-kajian yang sesungguhnya interdisipliner ini dalam satu kesatuan ilmu baru yang disebut sebagai strategi maritim. Jika dibandingkan dengan Negara Adidaya Amerika Serikat yang telah sejak awal mencanangkan pembangunan kekuatan lautnya melalui strategi yang dicetuskan Laksamana Muda Alfred Thayer Mahan dalam bukunya The Influence of Sea Power Upon History: 1660-1783, atau Julian Stafford Corbett dengan Priciples of Maritime Strategy di Inggri, kita akan menyadari bahwa kajian terkait laut sangat eksklusif. Terutama hanya dipelajari oleh segelintir masyarakat yang belajar rumpun ilmu di atas.
Gambar : Illustrasi Samudera (sumber : www.pexels.com)
Sebagai perbandingan, mari kita lihat studi strategi yang merupakan budaya stratejik dari Indonesia : sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (hankamrata). Jenderal AH Nasution, salah satu tokoh militer yang sudah tidak diragukan lagi kiprahnya dalam TNI dengan pangkat terakhir jenderal besar, mencetuskan prinsip utama dalam sistem pertahanan yang melibatkan rakyat secara luas dan sangat inklusif. Di dalam bukunya Pokok-Pokok Perang Gerilya yang menjadi salah satu bahan ajar di sekolah militer Westpoint AS, tampak bahwa Nasution sesungguhnya ingin mengajak segenap rakyat Indonesia untuk setidaknya membaca dan memahami situasi alam di Indonesia yang menjadi keunggulan geografis bagi strategi pertahanannya. Mengingat konteks situasi pada masa Revolusi Kemerdekaan masih bergejolak perang yang berkecamuk melawan sisa-sisa kekuatan kolonialisme dan imperialisme.
Pemaknaan strategi maritim berawal dari perbedaan makna antara suku kata “kelautan” dan “kemaritiman”. Mulanya, strategi maritim dimaknai sebagai naval strategy, yang melingkupi kebijakan apa yang dapat dieksekusi oleh negara pada pelaksanaan metode berperang dilaut dengan mengandalkan angkatan laut dan pasukan amfibi sebagai kekuatan utamanya. Perkembangan cakupan strategi maritim bergeser dan semakin meluas ketika dunia memasuki era globalisasi yang mengedepankan ekonomi global, pasar bebas, masyarakat terbuka, dan politik demokrasi yang mengantarkan kepada sebuah keunggulan ekonomi suatu negara.
Transformasi ini menimbulkan konsekuensi lain berupa pemaknaan atas strategi maritim yang semula hard politics kini harus bergeser pada soft politics, akibat dari relevansi antar keduanya : ketika ekonomi suatu negara kuat maka angkatan laut negara tersebut juga kuat. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Secara militer, muncul pula pandangan bahwa strategi maritim modern akan melibatkan segenap kekuatan udara, laut, dan darat untuk beroperasi bersama demi mencapai tujuan yakni mempengaruhi wilayah pantai.
Kemaritiman berkenaan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan laut mencakup navigasi, pelayaran, dan perdagangan. Di sinilah signifikansi peran laut dalam penentuan kebijakan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian pantas diartikan bahwa terdapat aspek daratan selain laut yang perlu dilibatkan untuk menentukan strategi maritim sebagai suatu grand strategy yang menggabungkan berbagai macam komponen di dalamnya. Ketika seluruh aspek bersinegis dengan serasi, maka akan tercipta kontinuitas pergerakan sektor kemaritiman yang membawa efek kemajuan bagi Negara Republik Indonesia. Yang nantinya diharapkan bisa dijadikan sektor lapangan pekerjaan baru, selain di daratan bagi masyarakat dimasa era globalisasi sekarang ini.
Editor: - Nurul Khairi, Ruang Maritim Indonesia, 2022.