DUGAAN KORUPSI SEKTOR SWASTA DALAM BIDANG LOGISTIK

DUGAAN KORUPSI SEKTOR SWASTA

DALAM BIDANG LOGISTIK

 

Oleh:

 

Dr. (cand). Drs., Achmad Ridwan Tentowi., S.H., M.H.

(Ketua Bidang Maritim APDHI / Pemerhati dan Pegamat Masalah Martim dan Logistik) 

 

 

 

Korupsi Sektor Swasta Dalam UNCAC 2003

 

Polemik korupsi yang berkembang di masyarakat saat ini, sudah mulai menambah alur dan skema, dari yang yang biasanya. Sektor swasta (private sector) dalam hal ini sudah mulai dibicarakan dalam banyak hal, agar sektor ini masuk ke dalam kategori korupsi, mengingat korupsi sektor swasta versi United Nation Convention Against Corruption / UNCAC 2003 yang tidak diakomodir oleh Undang – Undang Pemerantasan Korupsi di Indonesia, sebab terhalang oleh azas non - retroaktif  modusnya sangat bermacam – macam dan susah untuk diidentifikasikan. Polemik yang sesungguhnya, pembicaraan tentang korupsi sebetulnya tidak hanya berada dalam ruang yang terkait dengan kerugian negara dan badan - badan usaha yang kekayaannya milik negara atau ada penyertaan keuangan negara. Korupsi sektor swasta juga dapat mempengaruhi kerusakan perkembangan pembangunan di suatu negara.

 

Tentunya apapaun bentuknya, korupsi selalu membawa dampak dan implikasi yang sifatnya buruk bagi sebuah Negara. Tidak hanya kehancuran ekonomi, namun juga menghancurkan mentalitas para Pengusaha dalam hal ini yang bergelut di sektor swasta. Salah satu dampak buruk yang disebabkan oleh adanya korupsi di sektor swasta ialah adanya inefisiensi di sektor swasta itu sendiri. OECD (2014) juga menjelaskan bahwa korupsi memperberat biaya untuk melakukan suatu proses perdagangan. Peningkatan biaya tersebut tidak hanya terjadi bagi para  businessman, tetapi juga berdampak buruk bagi para konsumen hingga ketidak efisiensian penggunaan dan alokasi sumber daya. Terkait buruknya dampak yang ditimbulkan korupsi bagi sektor privat, Firma Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) chapter India pernah membuat suatu survey tentang Suap dan Korupsi terkait dengan dampaknya terhadap ekonomi dan bisnis. KPMG India memberikan beberapa data hasil survey yang telah dilakukan lembaga tersebut, diantaranya ialah  impact of corruption in business dan cost of corruption.

 

Dampak buruk lainnya, tidak hanya sekedar inefisiensi, korupsi di sektor swasta juga berdampak pada buruknya sistem persaingan usaha di suatu negara tertentu. Sebagai perbandingan, Negara Switzerland, pernah mengkategorikan korupsi (suap) di sektor swasta, masuk sebagai ketentuan pidana yang ada dalam Undang - Undang Persaingan Usaha negara Switzerland. Dampak jangka panjangnya, suatu perusahaan pasti dapat terkena imbas kerugian jika terus menerus berada dalam lingkungan bisnis yang bersifat korup.

 

Jika kita memperhatikan rumusan Pasal 12 dan 21 Konvensi PBB Antikorupsi (United Nation Convention Against Corruption / UNCAC 2003), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang – Undang No. 7 Tahun 2006, diatur tentang penyuapan di sektor swasta, termasuk tindak pidana korupsi. Secara detail, dalam Pasal 21 UNCAC 2003 terkait dengan penyuapan di sektor swasta, terdapat tiga (3) hal yang sangat penting untuk diperhatikan, yakni sebagai berikut; Subyek hukumnya adalah seseorang yang memimpin atau bekerja, dalam kapasitas, untuk suatu badan sektor swasta; Aktivitasnya terbatas pada sektor swasta yang bergerak di bidang atau dalam melaksanakan kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan; Sektor swasta adalah yang tidak termasuk dalam penjelasan keuangan atau perekonomian negara seperti yang disebutkan Undang – Undang  No. 31 Tahun 1999 Jo Undang – Undang No. 20 Tahun 2001.

 

Artinya, makna dan intrepretasi terhadap tindak pidana korupsi, sudah luas pandanganya, perluasan korupsi sampai di sektor swasta adalah sesuatu yang harus dilakukan. Sebab, sepanjang penegakan hukum tindak pidana korupsi, seringkali terbentur tipisnya perbedaan antara swasta dan negara. Misalnya saja kasus kredit macet Bank Mandiri. Akibatnya, negara seringkali sulit mengembalikan kekayaannya yang hilang karena tindak pidana korupsi.

 

Bahkan, dalam OECD Anti - Bribery Convention - diatur soal penyuapan oleh pejabat publik asing yang menyangkut transaksi bisnis internasional. Substansi Undang - Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, belum mengatur mengatur tentang trading in influences, atau persoalan korupsi sektor swasta (privat sector), akan tetapi hanya mengatur tentang penyuapan dan gratifikasi. - Trading in influences - atau persoalan korupsi sektor swasta (privat sector) pertama kali di atur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC 2003) pada konvensi Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB).

 

Penegakan hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjerat tersangka penyuapan kepada pejabat publik relatif mudah, sebab KPK sudah memiliki senjata hukum untuk membidik tersangka dalam kasus penyuapan. Ada Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c dan d Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang – Undang  No 20 Tahun 2001. Kategori suap dalam Pasal – pasal tersebut, di lihat secara secara sempit, yakni yang berkaitan dengan pejabat publik (Pemerintah). Sementara, Tindak pidana suap yang murni terjadi di sektor swasta memang belum ter-cover oleh Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang – Undang  No 20 Tahun 2001.

 

Konvensi Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) menentang Korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) telah disahkan dalam Konferensi Diplomatik di Merida, Mexico pada bulan Desember tahun 2003 dan terbuka untuk ditandatangani oleh Negara Peserta Konvensi. Sidang Majelis Umum PBB dengan Resolusi Nomor 57 / 169 telah mengadopsi Draf Konvensi PBB sebagai dokumen yang sah dan siap untuk ditandatangani oleh Negara Peserta Konvensi tanggal 9 sampai dengan tanggal 11 Desember 2003.

 

 

Dugaan Korupsi Sektor Logistik  

 

Walupun United Nation Convention Against Corruption / UNCAC 2003 telah diratifikasi dengan Undang – Undang No. 7 Tahun 2006, ketentuan tentang korupsi di sektor swasta (privat sector) belum sepenuhnya dicantumkan dalam RUU Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Juga belum ada satu peraturan tentang korupsi di sektor swasta. Padahal, dalam melaksanakan bisnis diperlukan adanya kepatuhan, etika, dan kepercayaan di sektor swasta. Indonesia menganggap penting untuk meratifikasi United Nation Convention Against Corruption / UNCAC 2003, sebab merupakan salah satu upaya pemerintahannya untuk menegakkan good governance dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.

 

Mahalnya biaya logistik dalam negeri di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh tingginya biaya transportasi darat dan laut, tetapi juga disebabkan oleh faktor - faktor lain yang terkait dengan regulasi ataupun aturan hukum terkait, Sumber Daya Manusia (SDM), proses dan manajemen logistik yang belum efisien, dan kurangnya profesionalisme pelaku dan penyedia jasa logistik nasional sehingga menyebabkan belum efisiennya perusahan jasa pengiriman barang dalam negeri (domestic freight forwarding industry).

 

Skema tentang korupsi dan penyuapan di sektor logistik, mempunyai magnitude dan dampak yang jauh lebih besar dan meluas  ketimbang hal yang sama di sektor Pemerintah (public sector). Implikasinya langsung kepada perekonomian masyarakat, dan hak warga negara dalam memperoleh kesejahteraan ekonomi yang terjangkau dan memadai. Dengan asumsi atas  magnitude  dan implikasi yang besar dan meluas inilah maka pembahasan korupsi dan penyuapan dalam logistik ini menjadi penting.

 

Pentingnya sektor logistik dalam rangka peningkatan daya saing suatu entitas (perusahaan atau Negara) dapat pula di lihat dari tingginya prosentase (%) biaya logistik perusahaan dibandingkan dengan harga barang dari berbagai industri yang berbeda dan porsi biaya logistik nasional dibandingkan dengan GDP dari negara yang bersangkutan. Secara rata - rata, porsi biaya logistik terhadap harga barang adalah sekitar 20% lebih, sedangkan biaya logistik negara di dunia memiliki besaran mulai dari sekitar 10% terhadap Produk Domestik Bruto (di Amerika, negara maju) sampai dengan kisaran 15 % - 25 % untuk negara - negara sedang berkembang. Untuk Indonesia sendiri porsi biaya sektor logistik nasionalnya mencapai lebih dari 25% dari Produk Domestik Bruto.

 

Misalnya saja, terdapat kolusi, suap dan  kickbacks  dalam pengadaan barang dan jasa di logistik sektor kesehatan, hal ini dapat menyebabkan terjadinya penggelembungan anggaran, atau sebaliknya menyebabkan logistik obat dan perbekalan kesehatan yang diprogramkan tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Di pihak lain, seringkali perencanaan dan investasi infrastruktur di lingkungan rumah sakit menghabiskan dana yang sangat besar dan peralatan medis berteknologi tinggi yang rawan korupsi.

 

Kebijakan ekonomi yang dikelurkan oleh Pemerintah, dengan berbagai paket ekonomi I sampai XVI, namun belum mampu menurunkan biaya logistik secara signifikan yang ditargetkan pemerintah 19 %, namun kenyataannya tetap berada pada posisi 24 %. Apakah selama ini, sektor swasta tidak tersentuh pengawasan, apalagi tersentuh oleh hukum, sementara kebijakan terbesar itu yang ‘bermain’ dalam sektor logistik, adalah sektor swasta. Misalnya saja, tender angkutan, tidak pernah dilakukan secara terbuka, sehingga penentuan biaya angkut dilakukan secara sepihak dan yang akhirnya menanggung beban adalah konsumen atau masyarakat. Maka, sektor swasta akan sewenang – wenang dalam menentukan tarif, atau bahkan menekan setingi – tingginya.

 

Kita lihat saja sebagai salah satu contoh nyata, dalam pelaksanaan dan penyediaan angkutan biasanya diurus juga oleh broker, sehingga selain mengurus dokumen importasi, broker juga menyediakan angkutan untuk mengangkut barang ke Gudang dalam suatu paket pengangkutan dengan harga yang sangat kompetitif. Sebagai gambaran, paket pengurusan dokumen dan angkutan truk dari pelabuhan Tanjung Priok ke Cikarang, biaya yang ditagihkan oleh broker adalah berkisar antara Rp. 2.000.000,00 s/d Rp. 2.500.000,00 untuk 1 (satu) container 20’, atau kalau dikurskan dalam USD menjadi USD 150 s/d USD 188. Biaya tersebut sangat jauh berbeda dengan perhitungan Bank Dunia yang menyebutkan biaya pengangkutan dari Tanjung Priok ke Cikarang adalah sebesar USD 750. Selisih yang sangat besar ini perlu ditelusuri sehingga menjadi terang. Karena hal ini memberikan kontribusi yang sangat besar di dalam perhitungan biaya logistik.

 

Dalam hal inilah diduga adanya privat to privat coruption, patut untuk dipertanyakan, karena broker PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan) rata - rata adalah merupakan UMKM di bawah nanungan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), di mana tarif yang dikenakan adalah sangat murah. Menilik dari ditunjuknya para broker oleh pemilik barang untuk mengurus penyelesaian dokumen dan pengiriman barang ke gudang, rata - rata mereka ditunjuk oleh bagian ekspor / impor dari perusahaan importir / eksportir melalui sebuah tender tertutup atau bahkan penunjukan langsung. Seharusnya biaya logistik terkait dengan penggunaan broker ini adalah murah karena tingginya persaingan antara broker tersebut.

 

Apabila digambarkan melalui skema, seharusnya alur transaksi antara broker PPJK dengan consignee adalah seperti berikut :

 

 

Dengan skema seperti di atas seharusnya biaya logistik yang dibayarkan adalah sesuai dengan apa yang ditagihkan oleh broker PPJK, di mana notabene biaya tersebut tergolong cukup murah.  Akan tetapi, hasil akhir dari biaya yang logistik yang harus ditanggung oleh consignee adalah cukup tinggi, sehingga menngiring paradigma berfikir untuk membuat sebuah perkiraan mengenai alur transaksi biaya logistik antara broker PPJK dengan consignee menjadi seperti ini :

 

 

Perkiraan skema seperti di atas ini sangat mungkin terjadi, mengingat order pekerjaan logistik khususnya untuk perusahaan swasta tidak pernah dilakukan melalui tender terbuka bahkan sering kali dengan penunjukan langsung secara personal. Ada beberapa hal yang harus dicermati dalam permasalahan ini, yaitu bahwa dalam pelaksanaan lelang penanganan logistik di sekitar swasta belum ada peraturan perundang - undangan yang mengatur mengenai strandarisasi, transparasi, akuntabilitas dari lelang pengadaan barang dan jasa disektor swasta pada umumnya dan di bidang logistik pada khususnya. Mungkin ini adalah alasannya, mengapa sektor swasta yang ‘bermain’ di sektor logistik, bebas melang – lang buana, sehingga memperkaya diri sendiri, keluarga dan golongan yang tidak tersentuh oleh hukum. Sehingga sektor logistik lah sebagai muaranya, sebagai titik kulminasi dari persoalan tingginya harga selama ini.

 

Laporan World Economic Forum, Indonesia menempati urutan ke - 46 dari 142 negara yang disurvei dalam hal daya saing ekonomi. Posisi Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Singapura (2), Malaysia (21), Brunei (28), dan Thailand (39). Salah satu penyebabnya terkait masalah korupsi dan etik, yang menempati urutan ke - 69 (skor 3.24). Bandingkan dengan Singapura yang berada di urutan pertama (6.51). Masalah suap dan pembayaran yang tidak wajar di urutan ke-103 (Singapura urutan ke-3). Terlihat bagaimana etika dan korupsi sangat rendah, serta suap dan pembayaran yang seharusnya tak perlu jadi masalah jika saja pemerintah serius membuat pengaturan terkait korupsi di sektor swasta.

 

Dugaan sementara, bahwa di sektor logistik inilah banyak terjadinya praktek korupsi, bisa dalam bentuk “kong kalikong”, “Tutup mata tutup mulut”, atau “bermain di bawah meja”. Ini yang lebih penting untuk diperhatikan, apakah mungkin Pemerintah membentuk badan independen (badan pengawas) yang berfungsi mengawasi distribusi barang dan jasa untuk menekan biaya logistik dari 23,5%  ke 19 %. Polemik tentang ini, sudah sangat lama sekali, kita dapat melihat dalam Lampiran 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional, secara umum sistem logistik di Indonesia saat ini belum memiliki kesatuan visi yang mampu mendukung peningkatan daya saing pelaku bisnis dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bahkan pembinaan dan kewenangan terkait kegiatan logistik relatif masih bersifat parsial dan sektoral di masing - masing kementerian atau lembaga (K / L) terkait, sementara koordinasi yang ada belum memadai.

 

 

Dugaan Korupsi Sektor Swasta Perlu di Masukkan Dalam RRU – Tipikor

 

Korupsi sudah mulai merambah antara privat ke privat,  bukan lagi persoalan keuangan negara, melihat kondisi sektor swastapun sudah melakukan korups, maka tentunya pemberantasan korupsi perlu dilakukan terobosan secara bersamaan, terintegrasi dan berkesinambungan, yang menekankan kepada sektor swasta. Salah satu kendala untuk mengaktualisasikan sektor swasta ke dalam korupsi, adalah perlunya pembenahan di sektor swasta untuk menindak praktik koruptif itu berpotensi stagnan mengingat salah satu unsur dari tindak pidana korupsi dalam Undang – Undang Tipikor masih terbatas adanya kerugian keuangan negara (state loss). Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan penafsiran korupsi yang lebih luas di negara maju seperti Amerika dan Inggris yang juga mencakup praktik korupsi di sektor swasta (priuate sector corruption).

 

Ironis rnengingat kita telah meratifikasi The United Ndtions Conuention Againsl Corruption (UNCAC) melalui Undang - Undang No. 7 tahun 2006 Tentang Pengesahan UNCAC tahun 2003. Dalam Pasal 12 dan 2l UNCAC 2003 jelas diatur mengenai pencegahan korupsi dan suap di sektor swasta. Maka dengan demikian, saatnya aparat penegak hukum bergerak cepat untuk menindak tegas keterlibatan korporasi dalam perkara korupsi yang selama ini tidak tersentuh.

 

Regulasi terkait masalah korupsi di sektor swasta (privat) merupakan suatu hal yang sangat mendesak dan penting untuk diatur. Dan perlunya di masukan ke dalam RUU – Tipikor, hal ini demi kesinambungan perekonomian dan iklim investasi di Indonesia. Adanya aturan yang fairness, adil, terhadap pelaku bisnis swasta yang berusaha menyuap, maka sudah waktunya dibuat dan ditegakkan. Ketika sektor swasta, melakukan korupsi (penyuapan) dibiarkan, maka akan berdampak kepada perkembangan dan kemajuan perekonomian Negara Indonesia ini.   

 

Ketika sektor swasta (privat) dengan swasta ‘bermain’ khususnya di bidang logistik, maka perbuatan yang terindikasi korupsi dalam UNCAC 2003, namun dalam Undang – Undang Tipikor tidak termasuk kategori korupsi, sekto swasta dalam hal ini akan  bebas untuk bergerak, sebab Undang – Undang atau peraturan hukum yang mengatur masalah ini berlum ada. Dugaan terhadap sektor yang melakukan korupsi, selama ini dapat bebas bergerak, sebab terkendala oleh azas legilitas Pasal 1 KUHP, di mana sebuah tindak pidana tidak dapat dijerat secara pidana apabila  tidak ada UU yang mengaturnya, sehingga pelaku praktek kegiatan tersebut masih leluasa untuk melakukan tindakan tersebut.

 

Jika kita melihat secara detail, tentang Rancangan Undang – Undang (RUU) Pemberantasan Korupsi versi 2007. Pasal 7 Ayat (1) RUU itu memberi kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut praktik suap di sektor swasta. Mengenai pasal itu, sebetulnya merujuk pada Artikel 21 konvensi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.

 

Pasal tersebut dengan jelas mengatur bahwa tindakan suap yang terjadi di sektor swasta juga digolongkan sebagai tindak pidana korupsi. 

 

RUU Tipikor Pasal 7 Ayat (1)

Versi 2007

UNCAC Article 21 Bribery in the private sector

Setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya kepada orang yang mengelola atau bekerja, dalam jabatan apa pun, pada badan sektor swasta, untuk dirinya atau untuk orang lain, agar ia bertindak atau menahan diri bertindak dalam pelaksanaan tugas resminya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally in the course of economic, financial or commercial activities:

 

a)     The promise, offering or giving, directly or indirectly, of an undue  advantage to any person who directs or works, in any capacity, for a private sector entity, for the person himself or herself or for another person, in order that he or she, in breach of his or her duties, act or refrain from acting;

 

b)    (b) The solicitation or acceptance, directly or indirectly, of an undue  advantage by any person who directs or works, in any capacity, for a private sector entity, for the person himself or herself or for another person, in order that he or she, in breach of his or her duties, act or refrain from acting.

 

RUU Tipikor versi 2007, sebetulnya sudah ada niat dari para pembentuk  RUU tersebut untuk memasukan suap sektor swasta (private sector) ke dalam kategori korupsi. Namun, untuk mengangkat wacana kerja sama antara sektor publik dan sektor swasta dalam melawan budaya suap, belum dapat terealisasikan. Ini hanya baru sebatas wacana, ke depan diharapkan  Artikel 12 dan 21 UNCAC 2003 untuk sepenuhnya diakomodir sebagai perbuatan korupsi di Indonesia, mengingat suap oleh para Pengusaha (sektor logistik) sudah membuat keterpurukan perekonomian Indonesia. 

   

Solusi  Untuk Menghadapi Dugaan Korupsi Sektor Logistik 

 

Dampak meratifikasi The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC 2003) melalui Undang - Undang No. 7 tahun 2006 Tentang Pengesahan UNCAC Tahun 2003, sudah jelas akan ada amandemen atau pembaharuan terhadap semua produk hukum yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Amandemen harus dilakukan karena terdapat sekian banyak ketentuan yang banyak di dalam UNCAC 2003 yang tindak terdapat di dalam produk hukum tindak pidana korupsi di Indonesia terkait dengan sebelunya menurut hukum Indonesia bukan merupakan tindak pidana namun sebagai tindak pidana menurut UNCAC 2003.

 

Karena sistem hukum pidana kita menganut asas legalitas, sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, yang menegaskan; Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, yang dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”, azas legalitas, tersebut sudah sangat jelas merupakan kendala utama. Namun, Negara ini Negara berdasarkan hukum, segala sesuatu perlu di atur oleh hukum, demi kesejahteraan rakyat.

 

Sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan ini, maka kita memerlukan sebuah lembaga pengawas yang bertugas untuk mengawasi transksi biaya logistik ini sehingga tetap dalam besaran yang wajar. Lembaga pengawas ini, tentunya memiliki kekuatan hukum, maka sudah secara otomatis perangkat aturan tentang lembaga pengawas ini harus terlebih dahulu disiapkan oleh Pemerintah. Sebagai sebuah bench mark, di Amerika Serikat terdapat sebuah lembaga bernama Federal Maritime Commision (FMC), di mana salah satu tugasnya adalah untuk menginvestigasi apabila terdapat transaksi tidak wajar (unfair transaction) terkait dengan perdagangan internasional, di mana biaya freight forwarders adalah termasuk di dalamnya.

 

Mungkin, perlu juga yang lebih penting untuk dipikirkan adalah perumusan ratifikasi artikel 12 dan artikel 21 dalam United Nation Convention Against Corruption / UNCAC 2003 ke dalam pembaharuan UU Tindak Pidana Korupsi, atau pembuatan Undang - Undang yang secara khusus mengatur tentang Sistem Logistik di Indonesia yang sampai dengan saat ini belum ada. Terkait dengan pembaharuan Undang – Undang No. 20 Tahun  2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebelum melakukan pembahruan dengan memasukan artikel 12 dan 21 United Nation Convention Against Corruption / UNCAC 2003 agar tim pembaharu memperhatikan kerja dari tim ahli PBB yang membuat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis United Nation Convention Against Corruption / UNCAC 2003.

 

Kemudian untuk aturan sistem logistik, sudah dilakukan oleh Negara - Negara maju yang notabene memiliki Index Logistic Performance (ILP) yang lebih baik dari Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar Index Logistic Performance (ILP) Indonesia akan membaik apabila meratifikasi secara penuh United Nation Convention Against Corruption / UNCAC 2003, tersebut.

 

Melalui analisis hukum di atas, maka perlunya menata dan merekonstruksi secara ulang apa yang menjadi kebutuhan saat ini, yakni semakin mendesaknya sektor swasta ini di masukan ke dalam tindak pidana korupsi, yang lebih spesifik lagi adalah sektor swasta bidang logistik, sehingga tatanan hukum yang ada, akan mudah untuk menyesuian dengan kebutuhan masyarakat maka dengan demikian, hukum sebagai alat pembaharuan sosial menjadi titik tolaknya. Maka hukum harus bisa membangun sedemikian rupa, sehingga cita – cita dalam UUD 1945 dapat terwujud, inilah sebuah aplikasi dari konsep the living law. ****