ARSIPELAGO : KONSEKUENSINYA BAGI INDONESIA

Indonesia merupakan merupakan negara arsipelago atau negara kepulauan. Negara arsipelago, sebagaimana termaktub dalam RPJPN 2005-2025, bukanlah tanpa dasar mengingat sebelumnya negara kepulauan sebagai konsep telah diperjuangkan lebih dari satu dasawarsa setelah Indonesia merdeka, terhitung sejak deklarasi secara sepihak bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki yuridiksi atas lautan yang terbentang melingkupi kepulauan dan terletak di tengah-tengah gugusan pulau tersebut, hingga mencapai titik pengakuan dunia internasional melalui penetapan hukum laut internasional atau UNCLOS.

 

 

 

Deklarasi Kepulauan Indonesia atau yang dikenal sebagai Deklarasi Juanda menjelaskan karakteristik geografis Indonesia sebagai negara arsipelago. Indonesia menyadari telah memilikipotensi sumber daya laut yang melimpah, namunbelum banyak menghasilkan keuntungan bagi Indonesia akibat dieksploitasi oleh pihak asing. Deklarasi tersebut bertujuan mencegah negara lain melanggar kedaulatan dengan secara sepihak dan bebas melewati perairan kepulauan Indonesia. Kendati mendapat pertentangan dari negara negara besar, Deklarasi Juanda diratifikasi menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia setelah memasuki program legislasi nasional.

 

Akibatnya, terjadi peningkatan luas wilayah Republik Indonesia sebesar 2,5 kali lipat dari yang semula 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2 dengan pengecualian Irian Jaya yang waktu itu belum diakui secara internasional sebagai wilayah Indonesia.berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus dari titik pulau terluar minus Irian Jaya, terciptalah garis samar batas yang mengelilingi Republik Indonesia sepanjang 8.069,8 mil laut. Indonesia membawa Deklarasi Juanda dalam sidang UNCLOS I pada 1958 sebagai prinsip negara kepulauan, namun kemudian pemerintah menarik kembali dengan alasan kurang sempurnanya klaim tersebut. Konsep negara kepulauan terus diperjuangkan saat UNCLOS II bergulir, sembari fokus pada implementasi domestik melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang “innocent passage” melalui perairan Republik Indonesia dan Peraturan Presiden No. 103 Tahun 1963 dengan mengizinkan Angkatan Laut untuk melindungi perairan Republik Indonesia dalam satu “lingkar laut” sesuai dengan hukum yang berlaku. Di waktu yang bersamaan, pada 1960 dibentuk Dewan Maritim Indonesia (DMI) untuk menentukan dan mengkoordinasikan aktivitas yang berurusan dengan isu maritim beragam, termasuk didalamnya perikanan, navigasi, dan sumber daya laut.

 

Dalam jangka waktu 25 tahun sejak Deklarasi Juanda, berbagai bentuk perjuangan dilakukan untuk memperkuat posisi Indonesia dengan fundamental hukum laut internasional. Mochtar Kusumaatmadja yang merupakan ahli hukum dan kelak menjadi Menlu Republik Indonesia (periode 1978-1988) menjadi konseptor konsep negara kepulauan sekaligus mewakili Indonesia dalam tiga konferensi penting hukum laut internasional PBB. UNCLOS I diselenggarakan di Jenewa pada 24 Februari hingga 29 April 1958, diikuti 86 negara. Dalam tahapan ini, perjuangan yang dapat dicapai adalah mengatur tata cara pelayaran dalam perairan teritorial negara meskipun belum berhasil menetapkan laut teritorial. Kesepakatan baru tercapai setelah UNCLOS II pada 1960 dilalui hingga UNCLOS III yang berlangsung dari Desember 1973 sampai Desember 1982. UNCLOS terakhir menyepakati ZEE sebagai hak berdaulat negara untuk menerapkan hukum laut lokal. Indonesia diuntungkan dengan zona tambahan sehingga luasannya mencapai 5,8 juta km2.

 

Dalam aspek keamanan, Indonesia melalui presiden ke-6 Bapak Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden pertama yang mencoba memberikan pendekatan baru dalam strategi kemaritiman melalui perencanaan postur prajurit kedepan sekaligus modernisasi Angkatan Laut dengan ketentuan pokok minimum yang harus dicapai TNI-AL untuk mengamankan perairan Republik Indonesia. Mengingat luasnya kawasan laut Indonesia hal ini mebutuhkan perhatian khusus. Agar kedaulatan laut Indonesia tidak diganggu oleh pihak asing, terlebih sampai ada lagi pulau pulau kita yang diklaim oleh pihak asing. Cukup Sipadan-ligitan menjadi cambuk keras akan masih lemahnya pengawasan kita terhadap penjagaan kedaulatan laut Indonesia. Karena potensi laut kita sungguh luar biasa elok dan menjanjikan untuk dijadikan sumber daya baru, sehingga tak heran akan terus menjadi incaran pihak pihak yang ingin menguasainya.      

 

Editor: - Nurul Khairi, Ruang Maritim Indonesia, 2022.