Berdasarkan berbagai kajian jelas bahwa fokus historiografi maritim adalah kota-kota pantai, bajak laut, perdagangan, pelayaran, pelabuhan dan politik maritim. Dalam penjelasan aspek-aspek tersebut tampak faktor politik lebih mendapat perhatian, terutama menyangkut dinamika kemaritiman. Sementara menyangkut masyarakat bahari masih dipandang sebagai pelengkap dalam arus sejarah.
Sejarah Indonesia hendaknya tidak saja dilihat dari geladak kapal, balik benteng, dan pusat perdagangan Belanda (Neerlandocentris), tetapi juga melalui geladak kapal pribumi dan bandar pelabuhan Indonesia (Indonesiasentris). Sejauh ini karya historiografi maritim cenderung memfokuskan pada faktor politik atau kebijakan pemerintah mengelola pelabuhan di Indonesia pada masa kolonial. Walhasil, peranan masyarakat bahari belum banyak mendapat perhatian, padahal dengan mengkaji kehidupan mereka dapat diperoleh sudut pandang pelaut pribumi dan kontribusinya dalam mewujudkan negara maritim.
Mengikuti perspektif Indonesiasentris, masyarakat bahari ditempatkan sebagai pelaku utama dalam arus sejarah. Ada dua karya yang mengikuti sudut pandang tersebut, karya pertama ditulis oleh Endang Susilowati (2004) dan yang kedua oleh Abd. Rahman Hamid (2019). Kedua karya tersebut adalah disertasi doktor dari Universitas Indonesia.
Susilowati mengkaji tentang pasang surut pelayaran perahu rakyat di pelabuhan Banjarmasin 1880-1990. Dia menjelaskan bentuk respons pelayaran perahu rakyat terhadap perubahan teknologi, ekonomi dan politik serta posisi Pelabuhan Banjarmasin dalam perkembangan jaringan pelayaran perahu rakyat disekitarnya. Kajian ini menjelaskan mengenai peranan perahu layar sebagai faktor yang menggerakkan kegiatan Pelabuhan Banjarmasin dan jaringan maritim di kawasan Laut Jawa. Menghadapi tantangan perubahan teknologi pelayaran, terutama ekspansi kapal uap milik perusahaan pelayaran Belanda Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), armada perahu meresponnya dengan berkompetisi kemudian adaptasi, setelahnya KPM juga telah meningkatkan produksi yang dapat diangkut dibandingkan oleh perahu. Yang menarik adalah dampak krisis ekonomi dunia pada akhir 1920-an dan awal 1930-an. Armada kapal uap mengalami collapse, sementara armada perahu justru dapat bertahan hidup dan menjadi alternatif bagi sarana pengangkutan laut. Bahkan setelah masa krisis armada perahu bangkit kembali dengan terbentuknya Roekoen Pelajaran Indonesia (Roepelin) pada tahun 1935 di Surabaya.
Sejak tahun 1942 sampai 1694, pelayaran perahu mengalami kemerosotan akibat gangguan keamanan pelayaran yang diantaranya disebabkan pendudukan Jepang di Indonesia dan revolusi Kemerdekaan Indonesia. Setelah tahun terakhir, pelayaran perahu memasuki babak baru pada tahun 1964-1970 an yang ditandai motorisasi peraju layar dan booming perdagangan kayu sehingga memicu perkembangan pelayaran perahu dan Pelabuhan Banjarmasin. Perkembangan yang luar biasa dalam perdagangan kayu domestik juga direspon secara lihai oleh pelayaran rakyat, sehingga armada pelayaran rakyat mencapai kejayaannya. Namun setelahnya pelayaran perahu mengalami masa surut, Berbagai hal menjadi penyebabnya, antara lain kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan perkembangan pelayaran rakyat, dan semakin banyaknya pilihan alat transportasi dalam pengangkutan barang antarpulau. Persaingan yang ketat dengan armada pelayaran lokal dan masuknya teknologi peti kemas di pelabuhan Banjarmasin telah membawa dampak negatif bagi aktivitas pelayaran perahu rakyat pada sentra perahu tersebut.
Gambar : Illustrasi Perahu Tradisional (sumber : www.unsplash.com)
Disertasi Hamid mengenai jaringan maritim Mandar dari pelabuhan ”kembar” Pambauwang dan Majene di Selat Makassar 1900-1980. Faktor geografis dan pola angin musim menciptakan pelabuhan “kembar” yang bersifat saling mengisi. Pelabuhan Pambauwang menjadi pusat pelayaran pada musim Timur dan Pelabuhan Majene pada musim Barat. Dari pelabuhan itu terbentuk empat pola pelayaran : pelayaran pantai, pelayaran selat, pelayaran lintas selat dan pelayaran lintas laut. Eksistensi pelabuhan kembar mempengaruhi pasang surut jaringan maritim Mandar.
Kejayaan pelayaran Mandar dicapai pada 1900-1941, ketika kedua pelabuhan berfungsi saling mengisi. Setelah periode itu, fungsi pelabuhan kembar terganggu akibat gangguan keamanan dan yang berlaku hanya pelayaran pantai. Dalam era revolusi (1945-1950) berkembang pelayaran lintas selat untuk menembus blokade laut dan pembatasan perdagangan oleh pemerintah kolonial. Pada 1970-1980 seiring perkembangan motorisasi perahu, peluang perahu terdesak oleh kapal-kapal modern dan dominasi pedagang Cina dalam jaringan perdagangan selat Makassar.
Sumber sejarah bersifat subjektif. Informasi yang terkandung di dalamnya adalah buah pikiran dari pelaku sejarah yang melihat lingkungan dan melaporkan berdasarkan sudut pandangnya. Informasinya harus diterima sebagai pengetahuan karena hanya melaui itu sejarawan mendapat akses ke masa lalu. Dalam konteks laut sebagai penghubung, peran masyarakat bahari sangat penting, sebagai media pemersatu geografis kita yang terdiri dari banyak pulau. Interaksi masyarakat bahari yang intensif antar pulau dapat menjadi indikator kemajuan ekonomi, sosial dan budaya.
Editor: - Nurul Khairi, Ruang Maritim Indonesia, 2022.