Telah menjadi ungkapan lazim di kalangan masyarakat maritim zona terkemuka dunia, bahwa output ataupun loading & discharging rates antara kapal dan terminal selalu dalam keseimbangan (balance) untuk mencapai efisiensi waktu dan cost. Fakta juga menunjukkan bahwa untuk persaingan transportasi laut, kapal dibangun dengan kapasitas angkut dan berkecepatan jelajah yang luar biasa. MV. Emma Maersk yang dioperasikan Maersk Line semenjak 2006 merupakan salah satu kapal kargo terbesar di dunia memuat peti kemas sampai 22 rows, membutuhkan derek dermaga (quay container crane) dengan spesifikasi yang balance, antara lain ketinggian mencapai 8 tier lebih di atas dek, jangkauan (out reach) 22 baris atau 54 meter lebih, dan rail span mampu dilintasi 5 deret lebih trailer secara simultan.
Baca Juga : PRINSIP PENGELOLAAN SDA DAN LINGKUNGAN PULAU-PULAU KECIL
Emma Maersk dapat dicermati betapa kecepatan kapal yang mengerahkan 12 unit quay container cranes dilayani dengan 5 baris trailer/chassis untuk balancing dalam arti bahwa selisih kecepatan kapal dan kecekatan terminal sama dengan nihil (0). Untuk mengejar kecepatan yang signifikan itu, terlebih telah dikenalkannya jenis quay container crane yang dilengkapi second trolley dan twin move spreader, maka dalam rangka balancing terminal pun telah pula merespons dengan menyediakan double stack trailer.
Lebih lanjut mengenai kemajuan teknologi perkapalan, kapal satu tipe dengan MV. Emma Maersk yang dioperasikan juga oleh Maersk Line bernama MV. Maersk Mc Kinney Möller yang mampu mengangkut muatan peti kemas sebanyak 18.270 TEUs. Maersk Line menempati hierarki teratas dari 20 perusahaan logistik besar dunia, mengatasi APL dan NYK.
Situasi operasional yang mengindikasikan ketidakseimbangan antara output kapal yang terlampau besar, tidak sebanding dengan total output operasi haulage atau quay transfer dapat terjadi karena beberapa faktor penyebab, diantaranya untuk kerja TKBM rendah dan sistem peralatan tidak andal.
Gambar : Ilustrasi Kegiatan Bongkar Muat Kapal (Sumber : https://unsplash.com)
Khususnya peralatan yang merupakan backbone sistem terminal bisa menjadi penyebab rendahnya kinerja operasi bongkar muat, apabila :
1. Kapasitas tersedia peralatan (equipment stock level) tidak cukup memenuhi kebutuhan operasi kapal.
2. Actual performance alat terlampau jauh di bawah possible performance; Contoh SWL derek 25 Ton dioperasikan terbatas pada 14 Ton.
3. Traffic jam di zona kegiatan bongkar muat sehingga memperbesar jumlah immobilization time.
4. Terjadi kerusakan alat dalam jadwal operasi; alat berhenti operasi karena mengalami down time.
Baca Juga : KAPAL PESIAR : PENGALAMAN WISATA YANG LUAR BIASA
Selisih kecepatan bongkar muat kapal dan terminal, dapat dijelaskan secara kuantatif melalui ilustrasi berikut. MV. Trisakti memuat lansung (direct delivery) dar gerbong KA sebanyak 4.800 Ton klinker; dikerjakan dengan 4 grabs @ 1,5 Ton dan cycle time 2 menit. Muatan diangkut dengan gerbong KA sebanyak 8 unit berkapasitas @ 8 Ton setiap jam. Untuk mengetahui delay ketidakseimbangan nya dapat dilakukan dengan menghitung Output kapal per jam = (4 x 1,5) x (60 : 3) = 120 Ton. Muatan tersedia = 8 x 8 = 64 Ton per jam, waktu menurut kapasitas grabs = 4.800 : 120 = 40 jam, waktu gerbong KA delivery ke kapal = 4.800 x 64 = 75 jam sehingga delay karena imbalancing = 75 – 40 = 35 jam.
Agar stabilitas arus barang terjaga, setiap aspek yang menghambat harus segera diberikan jalan keluarnya. Sehingga efisiensi waktu dan tenaga dapat terjaga, agar tidak menimbulkan biaya tambahan maupun keterlambatan dalam pendistribusian muatan kapal.
Editor: - Nurul Khairi, Ruang Maritim Indonesia, 2023.