HISTORIOGRAFI MARITIM INDONESIASENTRIS

 

Indonesiasentris dapat diartikan merupakan suatu konsep yang mencakup gagasan kebangkitan nasional serta persatuan Indonesia untuk bersama mensejahterakan bangsa yang tidak terfokus di suatu daerah atau pulau saja, hal ini dimaksudkan guna menciptakan keadilan dan pemerataan. Tentu saja dalam hal ini kita fokuskan pada bidang kemaritiman. Ada dua peristiwa yang terkait dengan wacana Indonesiasentris.

 

Pertama, Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, yang menegaskan batas laut teritorial 12 mil. Arti penting peristiwa ini setara dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tanpa deklarasi itu, wilayah Indonesia terpecah belah oleh kantong-kantong laut bebas, konsekuensi dari konsep batas laut teritorial tiga mil dari garis pantai terluar (Ordonasi Maritim 1939). Artinya, jika para pelaut hendak berlayar ke satu pulau, maka terlebih dahulu diperiksa oleh instansi pemerintah yang bertugas di pelabuhan udara atau laut untuk menyelenggarakan dan mengawasi semua urusan yang berhubungan dengan bea cukai; pabean (duane), karena akan meninggalkan wilayah teritorial atau melintasi laut bebas. Setelah deklarasi itu, kantong-kantong laut bebas, seperti Laut Jawa dan Laut Banda, menjadi bagian dari wilayah Indonesia. Deklarasi itu menjadi asas geopolitik Indonesia, archipelago (arch berarti utama, dan pelagos adalah laut) atau negara maritim yang ditaburi pulau-pulau. Dari situ lahir konsep wawasan Nusantara yang mendapat pengakuan internasional dalam United Nations Convention on the law of the Sea (UNCLOS) III di New York dan Jamaica tahun 1982.

 

Peristiwa kedua ialah Seminar Sejarah pertama di Yogyakarta 14-18 Desember 1957. Bila peristiwa pertama menjadi acuan konsep geopolitik, maka peristiwa yang kedua ini memberikan arah untuk penulisan sejarahnya, yang disebut Sejarah Nasional. Seminar tersebut berhasil menerobos kerangka kolonial dari sejarah Indonesia dan mengganti perspektif Eropasentris dengan Indonesiasentris. Dalam perspektif yang baru, masyarakat Indonesia berperan aktif dalam sejarah Indonesia, atau bukan pelengkap sejarah Belanda di Indonesia seperti pada perspektif lama.

 

Pada dasarnya dua peristiwa di atas memiliki visi yang sama, yakni dekonstruksi sudut pandang kolonial terhadap Indonesia. Yang menarik adalah waktu peristiwanya secara berurutan yang menegaskan bahwa fakta geopolitik Indonesia sebagai negara maritim harus dibarengi dengan perspektif maritim. Perhatian terhadap aspek maritim, bukan lagi hal yang pantas, melainkan menjadi sesuatu yang wajib mendapat prioritas istimewa dalam historiografi Indonesia.

 

Gambar : Illustrasi Kota Laut (sumber : www.pexels.com)

 

Indonesia yang merupakan negara kepulauan, mendorong banyaknya pelabuhan maupun dermaga yang berada di setiap daerah. Keberadaannya menjadi sangat penting dan dibutuhkan sebagai pintu mobilitas penghubung masyarakat antar pulau. Selain itu juga memberikan peranan vital dalam rangka perdagangan, penangkapan ikan dan urusan pemerintahan. Dari berbagai hasil penelitian tentang kemaritiman dapat disimpulkan ada empat faktor utama pendorong yang menghubungkan daerah-daerah dan kota-kota pantai yaitu : perdagangan, agama, kebudayaan dan kekuasaan politik. Jalur laut yang membentang luas di sepanjang garis pantai di Indonesia mendorong aktifitas pelayaran dan perdagangan laut. Jalur laut yang membentang luas juga sebagai jalur perluasan kekuasaan, penyebaran agama, dan kebudayaan. Perdagangan laut merupakan faktor utama tumbuhnya berbagai suku maupun bangsa di kota-kota pantai, melalui perkawinan antar suku maupun ras. Sehingga terciptalah keberagaman, yang menjadi ciri khas bangsa kita dan diabadikan menjadi semboyan Negara Republik Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” yang hakikatnya keberagaman kita disatukan dalam persatuan Indonesia sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia.

 

Editor: - Nurul Khairi, Ruang Maritim Indonesia, 2022.